makalah pajak & inflasi



A.    Artikel ini mengenai
Digagas DPR, Pajak progresif orang kaya
Dewan perwakilan rakyat (DPR) akan mengusulkan perubahan skema dalam pajak penghasilan (PPh) orang pribadi. Beberapa poinnya adalah memberlakukan pajak progresif untuk untuk orang kaya dan menaikkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Aggota komisi XI DPR Ecky Awal Mucharam mengatakan, konsep dasar pajak adalah memungut sebagian penghasilan orang kaya untuk didistribusikan kepada rakyat. Yang dimaksud dengan pajak progresif adalah makin tinggi penghasilan wajib pajak (WP) pribadi makin tinggi pula tariff (PPh) yang dikenakan .
B.     Penyebab permasalahan yang terjadi
Karena saat ini tariff pajak PPh pasal 25/29 untuk wajib pajak orang pribadi berdasar pasal 17 Undang – Undang No 36 Thun 2008 tentang pajak penghasilan adalah maksimal 30 persen untuk orang yang berpenghasilan Rp 500 juta ke atas per tahun. Sebagai gambaran, spanyol baru saja menaikkan batas tariff wealth taxes dari 42 persen menjadi 52 persen, jerman berencana menaikkan pajak itu dari 42 persen menjadi 45 persen, dan prancis bahkan berencana menaikkan batas atas tarif wealth taxes untuk penduduknya, yang berpenghasilan Eur 1 juta (sekitar Rp 12 miliar) per tahun.

C.    Solusi
Dengan menggunakan karakteristik pajak (Dharibah) menurut Syariat.
Ada beberapa ketentuan tentang pajak (dharibah) menurut Syariat Islam, yang sekaligus membedakannya dengan pajak dalam sistem kapitalis (non – Islam), yaitu :[1]
1.      Pajak (Dharibah) bersifat temporer, tidak bersifat kontinu, hanya boleh dipungut bila ketika di baitul mal tidak ada harta atau kurang. Ketika baitul mal sudah terisi kembali, maka kewajiban pajak bias dihapuskan. Berbeda dengan zakat, yang tetap dipungut, sekalipun tidak ada lagi pihak yang membutuhkan (mustahik). Sedangkan pajak menurut non  Islam adalah abadi (selamanya).
2.      Pajak (Dharibah) hanya boleh di pungut untuk pembiayaan yang merupakan kewajiban bagi kaum Muslim dan sebatas jumlah yang diperlukan untuk pembiayaan wajib tersebut, tidak boleh lebih. Sedangkan pajak menurut non - Islam ditujukan untuk seluruh warga tanpa membedakan agama.
3.      Pajak (Dharibah) hanya diambil dari kaum Muslim dan tidak dipungut non – Muslim. Sebab, dharibah dipungut untuk membiayai keperluan yang menjadi kewajiban bagi kaum Muslim, yang tidak menjadi non – Muslim. Sedangkan teori pajak non – Islam tidak membedakan Muslim dan non – Muslimdengan alasan tidak boleh diskriminasi.
4.      Pajak (Dharibah) hanya dipungut dari kaum Muslim yang kaya, tidak dipungut dari selainnya. Orang kaya adalah orang yang memiliki kelbihan harta dari pembiayaan kebutuhan pokok dan kebutuhan lainnya bagi dirinya dan keluarganya menurut kelayakan masyarakat sekitarnya. Dalam pajak non Islam, kadangkala juga dipungut atas orang miskin, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atau PPN yang tidak menganal siapa subjeknya, melainkan melihat objek (barang atau jasa) yang di konsumsi.
5.      Pajak (Dharibah) hanya dipungut sesuai dengan jumlah pembiayaan yang diperlukan, tidak boleh lebih.
6.      Pajak (Dharibah) dapat dihapus bila sudah tidak diperlukan. Menurut teori pajak non – Islam, tidak akan dihapus karena hanya itulah sumber pendapatan.
Pajak progresif memang menarik setiap orang karena ia tidak menciptakan gangguan fundamenatal apapun apapun dalam sistem kapitalis. Namun kenyataanya,  pajak progresif telah gagal mengurangi kesenjangan pendapatan. Sejumlah kajian yang berkaitan di AS telah memperlihatkan bahwa struktur laju pajak tetap mempertahankan progresifitas. Sejumlah perkecualian, pembebasan, dan pengurangan pajak, serta kredit telah menguranginya secara efektif. “setiap item yang yang dihapuskan dari pajak akan mengurangi penerimaan dan boleh jadi membuat pajak pendapatan kurang fair. Karena itulah Strayer mengamati bahwa “seperti yang diterapkan sekarang, pajak pendapatan individual bukanlah suatu instrumen redistribusi pendapatan yang efektif yang pada umumnya telah dipercaya”. Kajian – kajian lain juga bermunculan dengan kesimpulan yang sama. Bahkan , Pechman mengamati lebih jauh lagi. Dalam dua puluh tahun terakhir sitem pajak telah menjadi lebih regresif, karena makin mengandalkan pajak payroll (bedasarkan daftar keseluruhan gaji karyawan perusahaan, pent.) dan makin mengurangi ketergantungan pada pajak perusahaan (corporate tax), suatu trend yang ia amati juga dinegara – Negara maju lainnya.
                        Sebuah studi yang baru- baru ini dilakukan oleh British Instituteof Fiscal Studies menemukan bahwa sistem pajak telah telah meningkatkan penderiataan bagi sebagian besar penduduk Inggris sejak tahun 1979. Bahkan di swedia, yang dipandang sebagai sebuah Negara kesejahteraan ideal, memiliki keadaan : “pajak pendapatan (income tax) bias saja sangat progresif diatas kertas, tetapi orang – orang kaya telah belajar menggunakan sistemdedukasiyang kompleks untuk meringankan beban pajaknya. Bila pendapatan dari modal dimasukkan kedalam rekening, makaprogresivitas sistem pajak menjadi kurang tegas. Akhirnya orang kaya tetap kaya dengan mengeksploitasi data dalam sistem pajak. Dengan demikian, tampaknya telah cukup menyebar adanya pengakuan bahwa perpajakan progresif tidak saja kurang berperan secara signifikan dalam redistribusi, tetapi di banyak Negara juga ada kemungkinan beroperasi pada arah yang bertentangan.
            Kendati demikian, sistem perpajakan sesungguhnya memiliki potemsi untuk melakukan redistribusi signifikan bila didesain dan diberlakukan secara tepat. Reaksi pedas Negara kesejahteraan dan semangat sengit aliran sisi penawaran (supply side) telah mendorong seruan bagi penggurangan laju pajak perusahaan dan individu, bukan mengadakan reformasi sistem pajak kea rah pemerataan yang lebih besar, mereka mengklaim bahwa perpajkan untuk tujuan redistribusi adalah penghambat pertunbuhan. Karena itu, pajak di beberapa Negara kemudian diturunkan. Di AS reformassi pajak tahun 1986 “ telah menurunkan laju pajak sampai pada tingkat tidak terlihat sejak tahun 1920-an”. Akibatnya, sistem pajak terdahulu paling tidak telah menampakkan redistribusi pendapatan sebagai tujuannya. Sekarang sistem itu akan menghilangkan kesan tersebut setalah usulan penurunan dalam laju pajak dilaksanakan.[2]




A.    Artikel ini mengenai
Bank Indonesia (BI) Kemabali Tahan Bunga Acuan
             Meskipun ancaman inflasi masih membayangi perekonomian menjelang kurtal kedua tahun ini, rapat dewan gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) kemarin memutuskan menahan suku Bunga acuan atau BI rate tersebut masih konsisten dengan tekanan inflasi dari sisi fundamental serta tetap kondusif mendorong pertumbuhan ekonomi dari dampak penurunan kinerja perkonomian dunia.

B.     Penyebab permasalahan yang terjadi
Kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I 2012 diperkirakan mencatat surplus yang lebih kecil. Itu sejalan dengan defisit transaksi  berjalan pada triwulan I 2012 yang diperkirakan membesar seiring dengan melambatnya ekspor di tengah impor yang masih tetap tinggi seiring dengan aktivitas ekonomi domestik yang kuat dengan tingginya konsumsi BBM. Sementara itu, surplus transaksi modal dan keuangan menurun karean arus masuk investasi portofolio lebih rendah. Dengan perkembangan itu, cadangan devisahigga akhir Februari 2012 mencapai USD 112,2 miliar, atau setara dengan 6, 3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

C.    Solusi
Kurva Philips telah menyediakan rasionalisasi bagi para pembuat kebijakan dalam bentuk hubungan terbalik antara inflasi di satu pihak dan pertumbuhan yang lebih cepat dan kesempatan kerja di pihak yang lain. Mayoritas ekonom Keynesian tidak terlalu khawatir terhadp inflasi dan terus menggalakakkan kebijakan – kebijakan ekspansioner di sepanjang periode pasca – Perang Dunia Kedua. Prof. Henry Bruton mengatakan dalam serangkaian ceramah yang disampaikan di Universitas Bombay pada tahun 1961, bahwa “suatu kasus dapat dibuat untuk menjadikan inflsi sebagai suatu instrymen kebijakan dan bukannya mengontrol inflasi sebagai tujuan dari suatu kebijakan.
Biasanya peringatan – peringatan terhadap mismanajemen moneter juga ditambahkan seraya dikatakan, “Terlalu banyak mencetak uang itu sangat berbahaya”.
Tetapi, peringatan demikian umumnya tidak digubris oleh para perencana dan materi – materi keuangan di mayoritas Negara – Negara berkembang. Inflasi telah menwarkan suatu cara”perpajakan diam – diam tanpa permisi”. Ia tidak meniggalkan kagaduan  politik seketika, seperti yang biasanya terjadi kalau pajak dianaikkan, dengan demikian merupakan suatu cara yang mudah untuk menutup deficit yang membengkak. Kalaupun ada konsekuensi – konsekuensi yang tidak sedap, itu menjadi warisan pemerintah penggantinya dan bukan mereka sendiri yang kan menghadapinya. Perilaku demikian dapat diperkirakan sebagai suatu hal yang amat alami dalam suatu sistem, yang keadilan sosioekonominya tidak menjadi sasaran fundamental, sementara memburu kepentingan diri sendiri menjadi tujuan hidup yang utama. Tak ada alasan untuk berharap agar para democrat dan pemimpin politik akan bertindak berbeda dalam suatu lingkungan yang bebas nilai.
Inflasi cenderung meredistribusikan pendapatan ke atas sehingga menjomplangkan keseimbangan terhadap keadilan sosioekonomi. Sebanarnya ini saja sudah cukup  dengan tidak memberikan waktu istirahat untukm berfikir bagi para ekomom pembangunan. Namun, masih ada lagi dampak buruknya pada pembangunan dan akan terus begitu untuk beberapa waktu di masa yang akan datang.
Inflasi menimbulkan control –kontrol harga dan subsidi pada bahan – bahan pokok makanan dan bahan – bahan penting lainnya untuk konsumsi. Sementara, kontrol – kontrol harga merugikan pertumbuhan penawaran barang – barang dalam jangka panjang. Subsidi mengisi anggaran pemerintah dengan beban berat yang sulit dipikul. Inflasi juga menimbulkan kurs yang terllau tinggi, yang sengaja dipakai pemerintah untuk menekan dorongan – dorongan inflasioner. Ini akan menggalakkan impor dan merugikan ekspor komoditas – komoditas karean tidak bisa bersaing di pasaran internasional. Sektor pertanian dan IKM adalah sektor –sektor yang paling dirugikan karena mereka tidak mendapat dukungan seperti yang didapatkan oleh industri berskala besar. Ketergantungan kepada impor bertambah dan defisit nilai tukar juga terus meningkat. Ini menambah perlunya pinjaman sehingga memperburuk beban cicilan utang.
Meskipun begitu, pemerintah sekarang seperti dalam tekanan Bank Dunia dan IMF, harus menghapuskan kontrol – kontrol harga dan subsidi serta mengadopsi sitem nilai tukar yang realistis. Namun, hal itu sulit dilakukan karean dampak buruknya pada ongkos hidup. Karena itu, Sir Athur Lewis pada akhirnya meneriakkan, “pelajaran pokok yang dapat kita petik, baik bagi Negara – Negara yang kuranmg berkembang maupun yang telah maju, bahwa inflasi merupakan biang keroknya.”[3]  
            Kalangan moneteris menganggap bahwa untuk menstabilkan harga – harga pertumbuhan jumlah uang beredar harus dikontrol secara hati – hati. Namun hal ini sulit diimplementasikan, karena hubungan antara ukuran – ukuran uang beredar yang diidentifikasi oleh kalangan moneteris dengan tingkat inflasi biasanya rusak setelah pengambil keputusan menargetkan inflasi itu. Ekonomi aliran keynesian yakin bahwa inflasi bisa terjadi terlepas dari pengaruh kondisi moneter. Ekonomi lebih menitikberatkan pada faktor- faktor institusional, seperti apakah suku bunga ditentukan oleh para politisi atau oleh bank sentral yang independen dan apakah bank sentral menentukan suatau target inflasi.[4]
            Dalam pemikiran islam menurut An- Nabahan pemerintah merupakan lembaga formal yang mewujudkan dan memberikan pelayanan terbaik kepada rakyatnya. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, salah satunya yaitu tanggung jawab terhadapperekonomian diantaranya mengawasi faktor utama penggerak perkonomian.
            Majid mengatakan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, pemerintah Islam menggunakan dua kebijakan, yaitu kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan tersebut telah dipraktikkan sejak zaman Rasulullah dan khulafaur rasyidin kemudian dikembangkan oleh para ulama. Tujuan dari kebijakan fiskal dalam Islam adalah untuk menciptakan stabilitas ekonomi, tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan pemerataan pendapatan, ditambah dengan tujuan lain yang terkandung dalam aturan Islam.[5]
            Dalam mencapai tujuan pembangunan ekonomi ada beberapa instrumen yang bisa digunakan, yaitu:
a.       Memaksimalkan penghimpunan zakat serta pengoptimalan pemanfaatan zakat. Pemaksimalan penghipunan zakat dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan yang bertujuan dalam menjamin stabilitas ekonomi. Hal ini ditempuh apabila diasumsikan suatu perekonomian dalam kondisi full employment, maka kenaikan permintaan agregat tidak kan menimbulkan kenaikan pada pendapatan riil nasional.
b.      Mengenakan biaya atas dana yang menganggur (cost of idle fund), hal ini agar mendorong masyarakat untuk menginvestasikan dananya tidak hanya melalui tabungan dan deposito tetapi diarahkan pada penciptaan pertumbuhan sektor riil. Dengan adanya biaya, maka setiap masyarakat dituntut untuk menginvestasikan dan yang mereka miliki tersebut.
c.       Menggunakan prinsip bagi hasil pada setiap transaksi tau segala jenis usaha dan meninggalakn bunga. Pada sistem bagi hasil segala pihak yang terlibat akan membagi keuntungan dan kerugian bersama sesuai proporsi modalnya masing- masing, dengan demikian segala bentuk transaksi baik itu sektor rumah tangga, swasta maupun pemerintah semua dapat menjalankan prinsip bagi hasil tanpa menggunakan bunga.

Variabel yang harus diformulasikan dalam kerangkan kebijakan moneter Islam adalah stok uang, bukan tingkat suku bunga bank. Dalam sitem ekonomi Islam, bank sentral harus mengarahkan kebijakan moneternya untuk membiayai pertumbuhan potensial dalam output jangka menengah dan jangka panjang demi mencapai harga yang stabil dan tuujan – tujuan sosio – ekonomi Islam.
Dalam perekonomian Islam, untuk menjaga stabilitas tingkat harga ada beberapa hala yang dilarang yaitu :
Ø  Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang hanya untuk keperluan transaksi dan berjaga – jaga
Ø  Penimbunan mata uang
Ø  Transaksi tallaqi rukban. Yaitu mencegat penjual dari kampung atau aerah pinggiran diluar kota untuk dijual kembali di pusat kota demimendapatkan keuntungan dari ketidakpastian harga.
Ø  Transaksi kali bi kali.  Yaitu transaksi tidak tunai, transaksi tunai dibolehkan namun transaksi future tanpa ada barangnya adalah dilarang
Ø  Segala benruk riba



Daftar pustaka

Gusfahmi, 2007, Pajak menurut Syariah, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Chapra M. Umar, 2000, Islam dan Tantangan Ekonomi, Jakarta : Gema Insani Press.
Huda Nurul, 2008, Ekonomi Makro Islam, Jakarta : kencana prenada media group.
Rianto Al Arif M. Nur, 2010, Teori Majro Ekonomi Islam, Bandung : Alfabeta.



[1]Gusfahmi, Pajak menurut Syariah, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007),  34 -35.
[2] M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000),126 – 127.
[3] M. Umar Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta : Gema Insani Press, 2000), 165 – 166.
[4] Nurul Huda, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta : kencana prenada media group, 2008), 179.
[5] M. Nur Rianto Al Arif, Teori Majro Ekonomi Islam, (Bandung : Alfabeta, 2010), 104 – 105.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar