MAKALAH
TENTANG TALFIQ
BAB 1
PENDAHULUAN
Ilmu Ushul Fiqh merupakan metode dalam menggali dan menetapkan hukum, ilmu
ini sangat berguna untuk membimbing para mujtahid dalam mengistimbatkan hukum
syara’ secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan hasilnya. Melalui ushul
fiqh dapat ditemukan jalan keluar dalam menyelesaikan dalil-dalil yang
kelihatannya bertentangan dengan dalil lainnya. Dalam ushul fiqh juga dibahas
masalah talfiq, taklid dan ittiba’. Ketiganya memiliki arti yang berbeda dan
maksudnya pun berbeda.
Makalah ini mencoba menguraikan masalah yang berkenaan dengan Talfiq.
Talfiq adalah pembahasan dalam ushul fiqh yang ramai dan tetap hangat untuk
didiskusikan, dan pembahasan ini sangat kita butuhkan, terutama juga masyarakat
kita di Indonesia, oleh karena itu kita dituntut agar mengetahui, meneliti dan
mendalami ilmu usul fiqh terutama untuk materi ini, sehingga kita tidak
canggung ketika dihadapkan permasalahan atau pertanyaan tentang masalah ini.
Makalah ini hanyalah sebagai pengantar, agar nantinya kita bisa lebih
mendalami dengan mengkaji khazanah-khazanah keilmuan yang ada di negeri
ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Talfiq
Kata Talfiq menurut etimologi (bahasa), memiliki arti menjahit atau
menggabungkan . Sedangkan menurut terminologi (istilah), Di bawah ini adalah
beberapa makna Talfiq secara istilah di sisi bidang keilmuan Ushul al-fiqh:
Pertama, Talfiq berarti mengerjakan sesuatu
dengan cara seperti yg tidak dikatakan oleh seorang mujtahid, atau dengan kata
lain mengambil satu qodliyah (rangkaian) yang mempunyai kandungan beberapa
rukun atau bagian dengan dua pendapat ulama’ atau lebih supaya sampai pada
hakikat sesuatu yang tidak ada seorangpun mengatakannya. Atau mencampur adukkan
perbuatan dalam satu qodliyah (rangkaian) ibadah yang memiliki dua pendapat
atau lebih, lalu pada tahap pelaksanaan mempraktekkan dengan cara yang tak
pernah dipilih dan diakui oleh imam madzhab manapun .
Kedua, beramal dalam satu permasalahan dengan menggunakan
dua pendapat bersama-sama atau salah satunya, dengan adanya kesan pendapat yang
kedua.
Ketiga, mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat
atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh
seseorang atau imam madzhab manapun .
Keempat, Perbuatan mencampurkan berbagai pendapat
madzhab dalam sesuatu masalah dan tidak terikat dengan pendapat satu madzhab .
contoh dari talfiq dalam segi ibadah, yaitu sebagai berikut:
1. Seseorang berwudlu tanpa
menggosok (al-dalku) dengan alasan mengikuti madzhab imam Syafi’i, setelah itu
dia bersentuhan dengan perempuan tanpa adanya syahwat, lalu dia punya anggapan
wudhu’nya tidak batal dengan alasan mengikuti pendapat imam Malik, kemudian dia
pun melakukan shalat. Maka shalat yang ia lakukan hukumnya batal lantaran dalam
wudhu’nya terdapat talfiq. Dalam arti, jika mengikuti madzhab Syafi’iyyah,
wudhu’nya sudah batal karena menyentuh perempuan yang bukan mahramnya.
Sedangkan, jika mengikuti madzhab Malikiyyah wudhu’nya tidak sah karena tidak
melakukan al-dalku atau menggosok.[1]
2. Seseorang bertaqlid
kepada madzhab Syafi`iyyah dengan cukup mengusap sebagian kepala dalam
berwudhu’, kemudian bertaqlid kepada madzhab Hanafiyyah atau madzhab Malikiyyah
yang berpendapat tidak batalnya wudhu’ ketika bersentuhan dengan perempuan
tanpa adanya syahwat. Maka praktek wudhu’ seperti ini untuk menunaikan sholat
itu tidak pernah di katakan oleh para imam madzhab manapun.
Alhasil kedua contoh di atas tidak dibenarkan menurut syariat Islam karena
telah keluar dari madzhab empat dan akan berdampak menimbulkan madzhab yang
kelima.Sebagian contoh talfiq dalam segi aktifitas sosial, yaitu sebagai
berikut:
1. Seorang laki-laki
menikahi perempuan dengan tanpa wali dengan alasan mengikuti pendapat imam Abu
Hanifah, kemudian praktek nikahnya juga tanpa mengajukan mahar dan tanpa
menghadirkan saksi mengikuti pendapat imam Malik. Contoh talfiq seperti ini
tidak diperbolehkan karena menimbulkan bahaya dan menyalahi kesepakatan para
ulama.[2]
2. Membuat undang-undang
pernikahan dimana akad nikahnya harus dengan wali dan saksi dengan alasan mengikuti
madzhab Syafi'iyyah, akan tetapi mengenai sah jatuhnya thalaq raj'i mengikuti
madzhab Hanafiyyah yang berpendapat sah ruju'nya bil fi'li (langsung bersetubuh
tanpa ada ucapan ruju’). Contoh talfiq seperti ini juga tidak diperbolehkan
dengan alasan seperti di atas karena menimbulkan bahaya dan menyalahi
kesepakatan para ulama.
B. Ruang Lingkup Talfiq
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada
masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi
yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti
masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq . Dikarnakan
bertaklid saja dalam masalah ini tidak dibenarkan apalagi bertalfiq. Serta
tidak di perbolehkan bertalfiq lagi ketika hasilnya akan menghalalkan sesuatu
yang jelas jelas keharamannya dengan adanya nash qoth’i, seperti zina dan
minuman keras.
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
Mengenai hukum-hukum furu`iyah yang menjadi ajang ajang bahasan talfiq di atas, ulama` fiqh telah mengelompokkan menjadi tiga bagian sebagai berikut:
1. Hukum yang berdasar pada
kemudahan dan kelapangan yang berbeda-beda sesuai perbedaan kondisi setiap
manusia. Hukum-hukum seperti inilah yang termasuk kemurnian ibadah, karena
dalam masalah ibadah seperti ini tujuannnya adalah kepatuhan dan kepasrahan
diri seorang hamba kepada Allah Swt.
2. Hukum yang didasarkan
pada sikap wira’i dan ke-ihtiyatan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berkaitan
dengan sesuatu yang dilarang Allah Swt karena membuat mudharat. Dalam hukum ini
tidak dibenarkan mengambil kemudahan dan bertalfiq kecuali dalam keadaan
darurat. Misalnya larangan memakan bangkai. Dalam hal ini Rasul bersabda :
“Segala sesuatu yang aku larang tinggalkanlah, dan segala yang aku perintahkan
kerjakanlah sesuai kemampuanmu”.[3]
3. Hukum yang didasarkan
pada kemaslahatan dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya, pernikahan, had-had
dan transaksi sosial ekonomi.[4]
C. Sudut Pandang Ulama Tentang Talfiq
Menanggapi hukum boleh tidaknya talfiq ini, ulama‘ terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu :
Pertama, kelompok yang tidak membolehkan adanya
talfiq, kelompok ini diwakili oleh syeikh Ibnu Abdul Bari, menurut beliau orang
awam tidak boleh bertalfiq, karena hal tersebut hanya akan menghilangkan taklif
(pembebanan) hukum yang diperselisihkan (mukhtalaf fih) oleh para ulama.
Pendapat pertama ini juga diperkuat oleh Imam al-Ghazali. Beliau melarang
praktik talfiq dengan alasan hal tersebut condong pada mengikuti hawa nafsu,
sementara syari‘at, menurut beliau datang untuk mengekang liarnya hawa nafsu.
Sehingga setiap perkara harus dikembalikan kepada syari‘at bukan kepada hawa
nafsu. Beliau menyitir ayat al-Quran yang berbunyi :“Jika kamu berselisih
paham tentang suatu perkara, maka kembalikanlah kepada Allah Swt.
Kedua, kelompok yang membolehkan praktik
talfiq, diantaranya adalah sebagian ulama‘ Malikiyah, mayoritas Ashab Syafi‘i
serta Abu Hanifah: mereka membolehkan talfiq dengan alasan bahwa larangan
talfiq tersebut tidak ditemukan dalam syara‘, karenanya seorang mukallaf boleh
menempuh hukum yang lebih ringan. Selain itu, ada hadits Nabi (qauliyah maupun
fi‘liyah) yang menunjukkan bolehnya talfiq. Dalam sebuah hadits yang dituturkan
oleh Aisyah, Nabi bersabda:
” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.[5] Dalam hadits lain beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. [6]
” Nabi tidak pernah diberi dua pilihan, kecuali beliau memilih yang paling mudah, selama hal tersebut bukan berupa dosa. Jika hal tersebut adalah dosa, maka beliau adalah orang yang paling menjauhi hal tersebut “.[5] Dalam hadits lain beliau bersabda : “Sesungguhnya agama ini (Islam) adalah mudah. Dan tidaklah seorang yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan”. [6]
DR. Wahbah Zuhaili juga sepakat tentang kebolehan talfiq ini, menurut
beliau talfiq tidak masalah ketika ada hajat dan darurat, asal tanpa disertai
main-main atau dengan sengaja mengambil yang mudah dan gampang saja yang sama
sekali tidak mengandung maslahat syar‘iyat.[7]
‘Izzuddin Bin Abdi al-Salam menyebutkan bahwa, boleh bagi orang awam
mengambil rukhsah beberapa madzhab (talfiq), karena hal tersebut adalah suatu
yang disenangi. Dengan alasan bahwa agama Allah itu mudah (dinu al-allahi
yusrun) serta firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 78: “Dan Dia sekali-kali
tidak menjadikan untuk kamu dalam satu agama suatu kesempitan. [8]
Imam al-Qarafi menambahkan bahwa, praktik talfiq ini bisa dilakukan selama
ia tidak menyebabkan batalnya perbuatan tersebut ketika dikonfirmasi terhadap
semua pendapat imam madzhab yang diikutinya.
Kalau kita lihat beberapa pendapat di atas, ternyata tidak ada qoul
(pendapat) yang membolehkan talfiq secara mutlak. Oleh karena itu, ada beberapa
klasifikasi talfiq yang perlu diperhatikan. Pertama, talfiq batal secara
esensi, seperti melakukan sesuatu yang menyebabkan penghalalan barang yang
haram, seperti menghalalkan khamr, zina dan lainnya. Kedua, talfiq yang
dilarang bukan pada esensinya, tetapi karena faktor eksternal. Dalam kasus
kedua ini terbagi menjadi tiga macam, yaitu:
1) Mengambil pendapat yang
mudah-mudah seperti mengambil pendapat setiap mazhab yang termudah bukan karena
dharurat atau ‘udzur. Hal ini dilarang agar seseorang tidak melepaskan diri
dari pembebanan-pembebanan syar’i.
2) Talfiq tidak boleh
berlawanan dengan keputusan hakim.
3) Talfiq tidak boleh
mencabut kembali hukum atau keputusan yang telah diikuti atau disepakati ulama.[9]
Alhasil, demi kemaslahatan, sebenarnya masih ada ruang untuk talfiq.
Apalagi ketika berhadapan dengan kondisi dharurat, maka talfiq menjadi
satu-satu pilihan yang mesti kita tempuh asal jangan sampai bertentangan dengan
spirit syara‘(maqashid al-syari’ah). Yang penting, praktik talfiq bukan sekedar
untuk mengambil kemudahan saja, tetapi bertujuan agar keluar dari jeratan
kemudharatan.
D. Justifikasi Dalil Syariah Pada Hukum Talfiq
Secara umum dalam permasalahan talfiq ini tidak ada dalil shorih yang
menunjukkan kebolehan atau pelarangan untuk melakukan talfiq. Adapun pendapat
yang mengatakan tidak boleh melakukan talfiq itu bersumber dari apa yg
dikatakan oleh ulama` Ushul di dalam ijma` mereka, dimana mereka beranggapan
bahwasanya dikhawatirkan akan timbulnya pendapat ketiga setelah terjadi perbedaan
pendapat antara dua kelompok madzhab. Maka, menurut mayoritas ulama`
berpendapat tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga ini akan menyalahi
sesuatu yang sudah menjadi kesepakatan ulama` (Ittifaq). Seperti contoh, Iddah
(masa penantian) wanita hamil yg ditinggal mati suaminya, dalam masalah ini ada
dua pendapat dimana ulama yang pertama berpendapat untuk menunggu setelah
selesai melahirkan, dan yang kedua berpendapat untuk menggunakan waktu yang
lebih lama diantara kedua waktu tadi (ab`adu al-ajalain). Maka dalam hal ini
tidak boleh memunculkan pendapat yang ketiga yaitu, penantiannya si perempuan
tadi hanya satu bulan saja .
Akan tetapi dakwaan terhadap pelarangan terjadinya talfiq itu tidak absolut
adanya, karena kalau kita mau melihat dengan seksama, permasalahan talfiq itu
sendiri baru dicetuskan oleh para ulama’-ulama’ akhir (Muttakhirun) pada masa
masa kemunduran islam. Atau lebih jelasnya masalah talfiq ini tidak di jumpai
pada zaman ulama terdahulu (Mutaqoddimun), pada masa Rosulullah Saw dan para
sahabat, juga pada masa imam-imam madzhab dan murid muridnya. Pada masa
Rosulullah Saw jelas sekali tidak adanya praktek talfiq, karena pada masa itu
masa turunnya wahyu dan tidak membutuhkan praktik ijtihad di dalamnya. Begitu
juga tidak di jumpainya permasalahan talfiq pada masa Sahabat dan Tabi`in,
karena apabila ada seseorang yang menanyakan tentang suatu masalah kepada
mereka, mereka memfatwakan dengan tanpa keharusan mengikuti pendapat mereka dan
tidak juga melemahkan pendapat mufti yang lain. Demikian juga pada masa imam
madzhab empat dan para sahabat ijtihad lainnya, yang tidak melarang
pengikutinya untuk beramal pada madzhab yang lain, asalkan di setiap mereka
mengambil pendapat dari yang lain dengan disertai pengetahuan perbedaan mereka
dalam permasalahan furu`iyyah.
Dari kutipan-kutipan pendapat di atas tadi telah memberikan pemahaman
kepada kita bahwasannya tidak adanya dalil yang jelas atas kebolehan dan
pelarangan talfiq itu sendiri, maka secara tidak langsung akan menunjukan atas
kebolehan talfiq tersebut. Sesuai dengan kaidah fiqhiyyah yg berbunyi “ Asal
setiap sesuatu itu adalah mubah (boleh)” sampai ada dalil syar`i yang tegas
melarangnya . Sebagai mana hadits Rosulullah Saw yang berbunyi ; “Kehalalan
ialah sesuatu yang diperbolehkan oleh Allah Swt di dalam kitabnya dan keharaman
ialah sesuatu yang dilarang oleh Allah Swt di dalam kitabnya pula, apabila
tidak tersebutkan maka dima`fu olehnya dan tidak memberatkan atas kamu” .
Dan pelarangan atas talfiq tadi itu juga akan menyebabkan ketidak bolehan
taqlid yang semestinya diwajibkan terhadap orang awam yang notabenya sebagai
pemula dan memungkiri bahwasannya perbedaan para imam adalah rahmat bagi umat
Islam. Demikian pula mengingakari asas-asas syari`at yang diciptakan untuk
mempermudah umat manusia dan menghilangkan pembebanan atasnya, karena
sesungguhnya agama Allah itu mudah bukan untuk memberatkan umatnya. Sebagaimana
Firman Allah Swt dalam surat al Baqarah ayat 185: yang artinya : “Allah
Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu”.
Meski ayat di atas menyangkut pada hal kebolehan orang yang berbuka puasa di
dalam perjalanan pada waktu bulan Ramadhan, tetapi tujuan umum ayat di atas
ialah menyeluruh pada tiap-tiap permasalahan agama.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengertian Talfiq adalah mencantumkan dalam satu permasalahan, dua pendapat
atau lebih sehingga menghasilkan satu kesimpulan yang tidak dikatakan oleh
seseorang atau imam madzhab manapun.
Para ulama` fiqh sepakat bahwa ruang lingkup talfiq ini terbatas pada pada
masalah-masalah furu`iyah ijtihadiyah dhonniyyah (cabang-cabang fikih ijtihadi
yg masih perkiraan). Adapun pada masalah ushuliyyah (pokok dasar agama) seperti
masalah iman atau aqidah itu bukanlah ruang lingkup talfiq.
Ulama berbeda pendapat untuk menyikapi hukum talfiq, ada yang membolehkan,
ada yang melarang, ada pula yang membolehkan dengan beberapa persyaratan,
sebagaimana telah dijelaskan dalam uraian di atas. Larangan talfiq tidak
bersifat absolut, kerena tidak ada dalil yang shorih tentang pelarangan
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dr. Qurasy Shyhab, Qaidah-Qaidah Istinbath dan Ijtihad. Jakarta :
Departemen Agama IAIN, 1986.
Yahya, Mukhtar dan Fathur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqh
Islami. Bandung : Al ma’arif, 1993.
Hanafie . A, Ushul Fiqh . Jakarta : Widjaya Kusuma, 1993.
azharku.wordpress.com
http://kaumsarungan.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar